Selasa, 28 Oktober 2008

Mulutmu Harimaumu

Satu lagi pengalaman dan penasaran saya terjadi di dalam angkot, setelah digegerkan bau kentut yg tak ramah lingkungan beberapa bulan lalu, kini saya dibikin penasaran lagi oleh teriakan yg berubungan dgn jati diri seseorang.

Pengalaman itu bermula dari si sableng sopir angkot kami waktu itu, mulai dari belok, ngerem, sampai masukin prosneling sangat “menyakinkan” dan belom lagi ditambah manuver-manuver membahayakan lainnya. Singkat cerita kami seluruh penumpang dibikin tegang oleh-nya.

Ternyata benar dugaan kami, pas berada diperempatan padat dikawasan Surabaya Timur hal yg tidak kami inginkan terjadi. Ciiiiiiiiittt..Ciiit…citt si doi ngerem mendadak menghindari becak di depannya, spontan jg seluruh penumpang waktu itu berteriak reflek hampir bersamaan sambil bingung mencari pegangan.

Kemudian dari hasil teriakan masing2 penumpang itulah yg menjadi pokok penasaran saya waktu itu. Betapa tidak waktu itu seluruh penumpang mengeluarkan teriakan yg bermacam-macam mulai dari menyebut nama Tuhan, menyebut nama seisi kebun binatang sampai menyebut nama-nama mahkluk gaip lainnya.

Dapat dipastikan ibu-ibu yg duduk dipojokan sebelah kanan yg dandanan busana tertutup dan tidak menor dgn kombinasi atasan dan bawahan yg sewarna, beliau ini spontan berteriak menyebutkan nama Tuhan dan ditutup dengan bacaan ayat-ayat suci lainnya dan dalam benak saya beliau ini kesehariannya diisi dgn mendekatkan diri kepada-Nya, melaksanakan semua perintah-Nya dan tunduk akan larangan-larangan-Nya. Lain halnya dgn pemuda tanggung yg berkaos putih bergambar grup band metal tahun 70-an ini dengan lantang tapi tidak begitu keras dia menyebutkan nama2 hewan seisi kebun binatang mulai dari hewan melatah sampai hewan tak bertulang belakang. Mungkin…mas-mas ini  dalam tebakan saya, sering mengunjungi kebun binatang untuk berintrospeksi dan bercermin diri atas perbuatan dia sehari-hari. Lha…kalo yg satu ini saya tidak berani berspekulatif bapak-bapak berpostur sedang dgn peci di kepalanya ini spontan meneriakkan mahkluk-mahkluk gaib dgn lancar. “Terus terang saya tidak berani berandai-andai dgn beliau, takutnya dia mempunyai teman gaib yg ada disisinya yg dapat membaca pikiran saya…jadi maaf saya tidak ikut-ikut.”

Sedangkan saya sendiri waktu itu berteriak menyebutkan sesuatu yg berhubungan dgn kedaerahan atau tepatnya nilai-nilai tradisi setempat. Jadi kesimpulannya adalah : saya ini orang yg selalu menjujung tinggi norma kedaerahan. “Lha wong saya waktu itu berteriak sumpah serapah lokal khas Surabaya -J**CUK- .”